Selamat Datang di Blog teriakan angin karena tidak ada teriakan yang paling kencang kecuali teriakan angin dan selamat menikmati hidangan-hidangan yang telah disajikan.

Rabu, 18 Mei 2011

cuplikan

Idealis Novel Sejarah
Menjadi seorang yang idealis, Pernyataan itu agaknya sepele, tapi sebenarnya susah di oleh siapapun. Mencita-citakan sesuatu dan bersikeras mewujudkannya ternyata tak-mudah. Seperti Sulastri dan Soedarmo dalam MANUSIA BEBAS, yang pada watu itu di Bandung pada tahun 1933-1936. pergerakan-pergerakan saat itu mencapai puncaknya.soekarno, meski baru keluar dari penjara, tak surut dengan teman-teman politiknya Karena mereka tahu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda masih tak-kurang juga menjalankan politik penindasannya. Suasana berbau diskriminasi terserak.
Sementara itu politik kaum pribumi di ambang perpecahan antara kubu Soekarno dengan kubu Hatta-Sjahrir. Adapun pemerintah tenang saja dengan politik pembuangannya.
Suwarsih mengarang Roman-nya Buiten het Gareel , diterbitkan di Negeri Belanda, 1940, tahun 1975 disponsori Kedutaan Belanda ; ia menterjemahkan buku tersebut dalam edisi Indonesia dengan judul Manusia Bebas, Penerbit Djambatan, 1975. Suwarsih Djojopuspito dilahirkan di Cibatok, Bogor, pada tangal 20 April 1912. Buiten het Gareel ditulisnya pada tahun 1939. Roman itu dengan setting tahun 30-an. Jaman pergerakan sedang menumbuhkan semangat nasionalisme pada bibit bangsa. Memang buku ini mengisahkan sepasang suami isteri, lingkungan perguruan, dan masalah-masalah yang dihadapi kaum pendidik yang idealis. Manusia Merdeka memuat Nilai pengabdian Guru, penyebaran Nilai Nasionalisme, maka ada adegan persinggungan dengan kehidupan Bung Karno bersama Ibu Inggit Garnasih memang setting roman ini ada di Bandung, Yogyakarta, dan Bogor.
            Kisah-kisah di jaman penjajahan yang pada saa itu para kaum pergerakan Seperti Sudarmo dan kawan yang menjadi guru menjadi intaian-intaian PID dan Pemerintah Gubernemen. Jadi banyak bagian dalam buku ini yang membutuhkan keterlibatan emosi kita selain kecerdasan untuk menghayati masa lalu dengan keadaan situasional yang jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat masa kini. Soedarmo termasuk di antara para aktifis itu. Sebagaimana yang lain, ia pun memiliki cita-cita yang sama. Ia kenal dekat Soekarno (hal. 58). Karena kemampuannya, ia diserahkan tugas sebagai direktur sekolah Perguruan Kebangsaan. Sekolah ini dicap oleh pemerintah sebagai "sekolah liar". Sebab mereka mengadakan semacam tandingan bagi sekolah-sekolah pemerintah.


Dalam prakteknya, Perguruan Kebangsaan berupaya mendidik dan menanamkan paham kebangsaan di dada anak-anak pribumi. Biasanya, di sekolah-sekolah pemerintah, selain hanya diperuntukkan bagi kalangan-kalangan tertentu (yang juga mahal biayanya), anak-anak pribumi sering direndahkan. Dalam diri mereka ditanamkan anggapan bahwa orang-orang pribumi itu malas dan bodoh. Cita-cita Soedarmo dipandang mulia oleh Sulastri. Dan inilah yang membuatnya tak-ragu untuk menikah dengan Soedarmo (hal. 15). Nasihat orangtua dan saudara-saudaranya tak digubris, Sulastri kukuh dengan pilihannya. Soedarmo sendiri dengan cita-citanya itu merasa dirinya sebagai pemimpin nasional, dan Sulastri setuju—sebuah anggapan yang sering dicemooh banyak orang di luar pergerakan.
Mereka menolak kerjasama dengan pemerintah kolonial, apapun resikonya. Sebaliknya, orang-orang yang kerja di pemerintahan sering mereka hinakan. Semua berjalan manis pada mulanya. Pelan tapi pasti, ketidakpuasan merambat ke dalam Perguruan Kebangsaan. Banyak kebijakan-kebijakan Soedarmo dipandang merugikan sekolah. Misalnya saja, karena satu sebab, gaji dan tunjangan untuk guru-guru dikurangi.
 
           Setelah menghadapi pasang surutnya penyelenggaraan sekolah dan kehidupan keluarga — berbagai persoalan sekolah dialami, dari masalah pengelolaan pendidikan, kehidupan sosial para guru, pun juga kesulitan keuangan yang dihadapi sekolah liar itu — karena para murid adalah rakyat jelata yang kehidupan mereka pun berat, uang sekolah menjadi tekanan orang tua murid-murid itu.
Sebagai gambaran, sekolah mengadakan kursus malam bagi orang tua dan orang dewasa untuk menambah pendapatan sekolah……………
Tibalah giliran Sudarmo menjadi sasaran tembak polisis kolonial ………. Rumah dan sekolahnya digrebeg, buku dan dokumen disita ………………akhirnya Sudarmo pun mendapat Onderwijs Verbod, dilarang mengajar. Hidup keluarga itu masuk dalam kesulitan dan tekanan psikologis — hidup menumpang pada keluarga Sudarmo di Yogyakarta. Macam-macam pekerjaan yang ditawarkan dan digeluti — tetapi akhirnya Sudarmo tetap ingin meneruskan karier dan idealismenya sebagai guru — ia telah memilih tempat kedudukan baru , di Bogor. Kejaran dan intaian polisi kolonial juga ditujukan kepada cabang keluarganya. Membuat konflik tersendiri pula dalam roman ini.
            Menjelang akhir roman ini, inilah dialog yang menarik, “………….Ah,” kata Sudarmo dan ia mengangkat bahunya, untuk menutupi kemurungannya. “Tentu akan datang lebih dari itu, dalam minggu ini mungkin. Mereka mencoba mencari tempat dulu di sekolah gubernemen dan sekolah bersubsidi. Baru mereka ke sini. …………….“
 Inilah sekelumit drama Pasangan Sudarmo dengan Sulastri dalam roman ini, “………….Tangannya menggeserkan buku-buku tulis lebih jauh sedikit. Apakah untuk Indonesia ia menulis itu ? Apa manfaatnya kenang-kenangannya untuk orang lain, biar pun semua betul-betul terjadi, mengandung pelajaran di dalamnya. Ia mengjar di sebuah sekolah liar, Sudarmo di sebuah sekolah liar. Ak begitu hebat, atau herois, akan tetapi ………………’Kau bergirang hati’, kata Sudarmo, ‘Ya, berhentilah dengan menulis jika kau sedang bergembira.’ …….”
Maka, akankah cita-cita mereka akhirnya dipertaruhkan?
Sebelumnya, naskah buku ini pernah dikirim ke Balai Pustaka untuk diterbitkan. Tapi, penerbit yang berfungsi sebagai "penyebar bacaan-bacaan bermutu bagi rakyat" itu, menolaknya sebagaimana naskah BELENGGU-nya Armijn Pane.            Tahun 1975, BUITEN HET GAREEL baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul MANUSIA BEBAS setelah didesak oleh H.B. Jassin dan Prof. Sartono Kartodirdjo—begawan sejarah dari Universitas Gajah Mada. Penerjemahan itu sendiri disubsidi oleh Pemerintah Belanda. Terlepas dari itu, Suwarsih Djojopuspito sebenarnya terbilang gagal dalam penerjemahannya. Hal ini disebabkan usaha adaptasinya terhadap perkembangan bahasa Indonesia saat penerjemahan itu. Ia memang terbiasa dengan bahasa Belanda sejak masa mudanya. Oleh karena itu, belanya, "Ada beberapa perkataan bahasa Belanda yang tidak dapat saya terjemahkan dan sebab itu saya biarkan saja". Maka, "Jika perkataan itu nanti ternyata tidak ada EQUIVALENTnya dalam bahasa Indonesia, maka perkataan itu malahan akan memperkaya bahasa Indonesia (hal. vi)". Akibatnya, pembaca yang terbiasa dengan karya-karya sastra saat ini dipastikan akan cepat merasa bosan. Dan pantas saja: buku ini kurang laku di pasaran. Bagi para penggemar sejarah idealisme di Indonesia, MANUSIA BEBAS adalah sebuah pilihan yang "mau-apa-lagi". Dan bagi penggemar karya-karya sastra modern Indonesia, buku ini pun menjanjikan gambaran-tandingan atas karya-karya sastra terbitan Balai Pustaka sebelum Perang Dunia II.



*) pembahasan dari Novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

Tidak ada komentar:

Posting Komentar