Pinggiran
Aku bagaikan hantu dipinggir jalan
Aku tak bisa berbuat apa-apa
Hanya meminta pada penghuni jalan
Kadangkala disayat orang
Kadangkala pula diberi irisan hati
Waktu kuteguk bunyian dalam remang jalan
Tanpa bibir dalam menyiram ruang
Penuh hati menyelam sayang
Untuk penghuni penyayang bedecak asam
Pada hati runyam dalam sejahtera terakhir kalinya
Dari seberang
Cahaya benderang mulai padam menyelam
Tak kusangka itu akan hilang
Hari demi hari terus berganti dalam hariku
Entah apa tanpa cahaya kehidupan
Dan itulahkehidupan lanjutan
Yang gelap dalam buaian malam
Oh…..sayang…
Engkau telah mengirim salam dalam
Untuk kesombongan cahaya alam
Lelehan air malam
Malam suci penuh kesucian
Seorang pejantan kehilangan sayap
Mendera dengan harap terbang melayang
Menuju atas alam
Kau ucapkan salam pada rima alam
Untuk kembali bersemayam
Dalam ketapian ama bapa tak rela
Penjantan tak sanggup bediri sekali lagi
Dalam remang kesenjangan mendalam
Mengucapkan salam kedamaian lama menjelang
Nestapa bumi
Tetesan air mnyusup keheningan fajar
Merayap lendiran gambut di sisi kanal
Dengusan cahaya bulan menatap bumi kaku
Untuk memaksa betunduk dalam raga sukma
Melewati ribuan alam biru dalam rima
Putaran angin meluap-luap memasung dada
Teriakan tanah berguncang membara api
Hidup ini hanyalah dusta pada bumi
Terjerembab dalam kepuasan sesaat
Hanyalah diri dengan atap
Kau gulung edaran darah ini
Terenggut lelehan pipa hitam
Menyebalkan…untuk kepedihan bumi Satu
Lembab air mata merah padam
Terus bergembala dengan nestapa
Selamat duka untuk selamanya
Lubang tangis
Hening menyusupi jantungku dengan berkata-kata apa
Merayap ke pulau belaian pucuk duka
Tanpa harap menerima suap-suap martabat
Berkata tulus menerima laknat abadi
Selamat dengan kaca api yang berdiri
Letupan uang-uang menyembur kanan kiri
Tanpa lumpur panas menyergap tenggorokan itu
Merayakan api kebodohan di kebun jahanang
Memakai baju hiatam bercorak kawat karat
Itulah kaum meriang…
Itulah kumpulan panas hitam
Menunda kemenangan dengan kesurupan
Meleleh cucuran liur dari dinding badan
Tergeletak merangkak dengan tangan kanan
Mari berdiri menutup lubang
Untuk cucu itu tanpa tangis berdiri
Menyekap hidup sejenak diri
Mari menang dengan kekalahan
Senyum darah menetes rapi ujung jalan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar